<strong>AYO BERSAMA AKHIRI TBC, INDONESIA BISA!!!!!</strong>

AYO BERSAMA AKHIRI TBC, INDONESIA BISA!!!!!

Tuberkulosis (TBC) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TBC telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995. Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan adalah pasien TBC terutama pasien yang mengandung kuman TBC dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500 M.Tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000 M.Tuberculosis.

Menurut World Health Organization (Global TB Report, 2022), estimasi jumlah orang terdiagnosis TBC tahun 2021 secara global sebanyak 10,6 juta kasus atau naik sekitar 600.000 kasus dari tahun 2020 yang diperkirakan 10 juta kasus TBC. Dari 10,6 juta kasus tersebut, terdapat 6,4 juta (60,3%) orang yang telah dilaporkan dan menjalani pengobatan dan 4,2 juta (39,7%) orang lainnya belum ditemukan/ didiagnosis dan dilaporkan. dari total 10,6 juta kasus di tahun 2021, setidaknya terdapat 6 juta kasus adalah pria dewasa, kemudian 3,4 juta kasus adalah wanita dewasa dan kasus TBC lainnya adalah anak-anak, yakni sebanyak 1,2 juta kasus.

Indonesia sendiri berada pada posisi kedua dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, diikuti oleh China. Pada tahun 2020, Indonesia berada pada posisi ketiga dengan beban jumlah kasus terbanyak, sehingga tahun 2021 jelas tidak lebih baik. Kasus TBC di Indonesia diperkirakan sebanyak 969.000 kasus TBC (satu orang setiap 33 detik). Angka ini naik 17% dari tahun 2020, yaitu sebanyak 824.000 kasus. Insidensi kasus TBC di Indonesia adalah 354 per 100.000 penduduk, yang artinya setiap 100.000 orang di Indonesia terdapat 354 orang di antaranya yang menderita TBC. Situasi ini menjadi hambatan besar untuk merealisasikan target eliminasi TBC di tahun 2030.

Angka keberhasilan pengobatan TBC pun masih sub-optimal pada 85 persen, di bawah target global untuk angka keberhasilan pengobatan 90 persen. Sedangkan jumlah kasus TBC yang ditemukan dan dilaporkan ke SITB tahun 2022 sebanyak 717.941 kasus dengan cakupan penemuan TBC sebesar 74% (target: 85%). Pasien TBC yang belum ditemukan dapat menjadi sumber penularan TBC di masyarakat sehingga hal ini menjadi tantangan besar bagi program penanggulangan TBC di Indonesia, selain  masih terdapatnya stigma di masyarakat.

Stigma menjadi salah satu penyebab keengganan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan TBC dan dapat memperburuk kondisi pasien. Karena adanya stigma, baik internal maupun eksternal, menjadi penghambat pemenuhan hak pasien dan penyintas TBC untuk mengakses layanan kesehatan. Selain itu, pasien bisa terlambat didiagnosis, tidak patuh berobat, atau putus pengobatan. Dengan begitu, stigma secara tidak langsung juga mengakibatkan penyebaran TBC yang lebih luas di masyarakat.

Stigma juga menyebabkan orang yang mengalami TBC menarik diri dari lingkungan, ditolak dari pergaulan, sulit mendapatkan pekerjaan, bahkan kehilangan pekerjaannya. Hal tersebut dapat berkontribusi terhadap munculnya permasalahan ekonomi dan kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan. Semua hal ini, baik psikologis, ekonomi, dan kesehatan, saling berkaitan satu sama lain dan berdampak buruk jika tidak ditangani dengan tepat. Untuk itu, kita perlu berupaya untuk menghilangkan stigma pada pasien TBC dengan menyuarakan informasi yang benar dan mendukung pasien dengan sepenuh hati.

Mengapa TBC Perlu Dieliminasi?

Mengakhiri epidemi TBC menjadi salah satu target penting dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang harus dicapai bersama dengan tujuan-tujuan lainnya oleh suatu negara untuk dapat sejahtera dan setara.

Pentingnya TBC untuk dieliminasi juga karena :

  • TBC merupakan penyakit menular. Arus globalisasi transportasi dan migrasi penduduk antar negara membuat TBC menjadi ancaman serius.
  • Pengobatan TBC tidak mudah dan sebentar
  • TBC yang tidak ditangani hingga tuntas menyebabkan resistansi obat
  • TBC menular dengan mudah, yakni melalui udara yang berpotensi menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah, dan tempat umum lainnya.

Kolaborasi seluruh pihak dalam eliminasi TBC

Penyakit TBC tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Menjangkau setiap orang dengan TBC dan memastikan setiap pasien diobati sampai sembuh membutuhkan pendekatan yang melampaui sektor kesehatan. Sebagai salah satu upaya mewujudkan Cakupan Kesehatan Semesta (Health for All), keberhasilan eliminasi TBC ditentukan pada kontribusi dan kolaborasi lintas sektor oleh multi-pihak dan seluruh lapisan masyarakat secara berkesinambungan. Setiap sektor mempunyai peran penting dan semua perlu mengambil bagian untuk menyukseskan target eliminasi TBC sebelum tahun 2030. Saat ini sudah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC. Penerbitan Perpres 67 tahun 2021 adalah penegasan kembali tentang komitmen Presiden dan sebagai acuan bagi Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa, serta Pemangku Kepentingan lainnya dalam melaksanakan Penanggulangan TBC. Selanjutnya, dalam pertemuan High Level Meeting Tuberculosis 2022 telah dibahas keterlibatan multi-sektor dalam upaya eliminasi TBC. Pada pertemuan tersebut pula telah dipaparkan kontribusi yang dikerjakan setiap Kementerian/Lembaga sesuai dengan amanat pada Perpres 67/2021.

Sebagai salah satu bentuk implementasi strategi nasional kelima dalam Perpres 67/2021 yaitu peningkatan peran serta komunitas, pemangku kepentingan, dan multisektor lainnya dalam penanggulangan TBC, Hari TBC Sedunia (HTBS) pada 24 Maret 2023 menjadi momen yang tepat untuk mengajak keterlibatan multi-sektor. Tanggal ini ditetapkan oleh WHO dengan merujuk pada pertama kali Robert Koch menemukan bakteri TBC (Mycobacterium tuberculosis). Peringatan HTBS adalah kesempatan untuk meningkatkan kampanye dengan penyebarluasan informasi terkait TBC serta mendorong semua pihak untuk terlibat aktif dalam pencegahan dan pengendalian TBC.

Dalam memperingati Hari TBC Sedunia dengan tema global ”Yes! We can End TB”, tema yang dipilih oleh Indonesia adalah tema yang berkaitan dengan kerja sama multipihak untuk mencapai eliminasi TBC, yaitu ”Ayo Bersama Akhiri TBC, Indonesia Bisa!”. Tema ini memiliki makna bahwa kita mempunyai kekuatan bersama untuk mengakhiri TBC pada tahun 2030 dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).

Diharapkan melalui tema ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang permasalahan TBC dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mendukung penanggulangan TBC baik dalam pencegahan, penemuan kasus maupun dukungan untuk proses pengobatan sampai sembuh serta meningkatkan partisipasi semua pihak  dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia.

Penulis : I Kadek Mulyawan., SKM., MPH

(Epidemiolog Kesehatan Ahli Madya di Dinas Kesehatan Provinsi NTB)