Jaminan Kesehatan, Seberapa Pentingkah??
Oleh: Nani Fitriani, S.Pd, MPH*)
Mari kita awali membaca tulisan ini dengan sebuah ilustrasi.
Coba dibayangkan ada seorang penderita penyakit gagal ginjal yang mengharuskan dirinya harus menjalani cuci darah setiap 3 bulan yang menghabiskan biaya sekitar 50 juta, maka dapat dibayangkan dalam setahun dana minimal yang disiapkan dari kantong sendiri sekitar 200 juta. Jika orang tersebut mempunyai penghasilan dalam sebulan katakanlah 10 juta, maka kekurangan biaya cuci darah akan diperoleh dari berbagai sumber (hutang salah satunya) yang belum tentu bisa menutupi kekurangan tersebut atau malah akan menjadi beban dikemudian hari. Kalau hal ini berlangsung terus menerus, maka akan ada titik jenuh/stagnasi karena beban yang ditanggung semakin berat. Stagnasi menyebabkan orang tersebut tidak memperoleh pelayanan kesehatan, beban pinjaman menumpuk. Keadaan yang buruk bertambah buruk dan lama kelamaan orang tersebut akan putus asa, lalu depresi. Yang dulunya hanya menderita gangguan fisik saja, sekarang bertambah satu lagi gangguan jiwa. “Buy one get one free” begitu bahasa kerennya. Selanjutnya bagaimana nasib orang tersebut? Penghasilan sudah tidak mencukupi untuk hidup sehari-hari, barang-barang berharga sudah dijual untuk menutupi biaya pelayanan kesehatan, hutang menumpuk dimana-mana…Dulunya orang tersebut mempunyai penghasilan tetap, tetapi sejak keluar masuk rumah sakit, kantor tempatnya bekerja memutuskan untuk me-rumah-kan sementara dan otomatis tidak mendapatkan gaji setiap bulan. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan orang tersebut..
Siapa yang ingin sakit? Siapa yang tidak pernah sakit? Jawabannya ada pada diri kita sendiri…
Sebagian besar dari kita tidak ada yang mengharapkan sakit. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa sakit bisa datang kapan saja tanpa menghiraukan keadaan sosial ekonomi. Setiap orang pasti punya risiko sakit. Risiko tersebut perlu diantisipasi dengan membaginya kepada pihak lain agar risiko yang dihadapi menjadi lebih ringan.
Saat ini dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, jenis penyakit juga semakin beragam. Riset membuktikan bahwa trend penyakit terbesar yang diderita oleh masyarakat saat ini telah bergeser kearah penyakit tidak menular dan merupakan penyakit-penyakit katastropik seperti jantung coroner, gagal ginjal, stroke, dll.
Salah satu cara untuk membagi risiko sakit yaitu dengan mengikuti program jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan penting bagi setiap orang guna melindungi dirinya dan keluarganya dari risiko keuangan yang disebabkan oleh biaya pelayanan yang semakin tinggi. Membayar dari dana sendiri untuk pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan, walaupun untuk waktu yang singkat, bisa menjadi sangat mahal.
Bila dananya tidak ada, besar kemungkinan dana yang sudah disiapkan untuk tujuan lain akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, sehingga rencana keuangan yang sudah disusun bisa menjadi berantakan.
Inilah pentingnya jaminan kesehatan, karena tidak seorang pun yang bebas dari risiko sakit. Bila hal itu terjadi, maka jaminan kesehatan memungkinkan seseorang atau anggota keluarganya untuk menerima pelayanan kesehatan yang diperlukan jika mengalami sakit. Jaminan kesehatan memberikan ketenangan pikiran dan meminimalkan risiko keuangan karena harus melakukan pembayaran besar kepada pemberi pelayanan kesehatan bila mengalami sakit.
Ada beberapa orang berpendapat bahwa “kita belum memerlukan jaminan kesehatan karena belum pernah sakit, nantilah kalau sudah berumur 40 tahun keatas baru ikut menjadi peserta jaminan kesehatan”. Pendapat semacam ini harus dikubur dalam-dalam karena sakit tidak mengenal batas usia. Ada anak yang baru lahir sudah menderita penyakit jantung, DM. Ada anak usia sekolah dasar harus dirawat di ruang ICCU karena menderita kanker otak, ada mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang harus berjuang melawan kanker paru dan masih banyak kasus lainnya yang menunjukkan bahwa sakit tidak mengenal usia.
Saat seseorang menjadi peserta jaminan kesehatan, maka setiap bulan wajib membayar premi (sejumlah uang) sesuai benefit/manfaat yang diperolehnya. Mungkin pada saat seseorang itu sehat, premi tersebut belum bermanfaat secara langsung pada dirinya, tetapi akan digunakan oleh orang lain yang menderita sakit. Dalam hal ini yang sehat memberikan subsidi kepada yang sakit. Semakin banyak yang menjadi peserta jaminan kesehatan, maka dana yang terkumpul juga akan semakin banyak dan secara hitungan matematika maka akan semakin banyak pula orang sakit yang memperoleh pelayanan kesehatan. Harapannya orang tersebut akan segera sehat dan dapat beraktivitas seperti pada saat sehat bahkan dapat lebih produktif.
*) Widyaiswara Ahli Muda Bapelkes Mataram