
Mata adalah indra penglihatan satu-satunya bagi manusia. Dengan mata sebagai indra pengelihatan, segala hal yang normal dan wajar dapat dilakukan. Untuk itu sangat penting artinya menjaga kesehatan mata. Namun masalah gangguan pengelihatan masih banyak dijumpai, dari gangguan pengelihatan yang ringan sampai gangguan berat yang dapat menimbulkan kebutaan.
Angka gangguan pengelihatan dan kebutaan dari hari ke hari semakin meningkat. Estimasi jumlah orang dengan gangguan pengelihatan di seluruh dunia pada tahun 2010 adalah 285 juta orang atau 4,24% populasi dan sebesar 0,58% atau 39 juta orang menderita kebutaan dan 3,65% atau 246 juta orang mengalami low vision. 65% orang dengan gangguan pengelihatan dan 82% dari penyandang kebutaan berusia 50 tahun atau lebih ( Pusdatin,2014).
Data nasional mengenai besaran masalah gangguan pengelihatan dan kebutaan didapat dari berbagai survei, antara lain Survei Kesehatan Mata, Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas ), Survei Kesehatan Nasional/ Survei Kesehatan Rumah Tangga dan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB). RAAB merupakan standar pengumpulan data Kebutaan dan Gangguan Penglihatan yang ditetapkan oleh WHO, melalui Global Action Plam (GAP) 2014 – 2019. RAAB di Indonesia sampai saat ini telah dilakukan di 3 Provinsi yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Prevalensi kebutaan di Indonesia dari hasil survey kesehatan mata pada tahun 1993 -1996 di dapatkan sebesar 1,5% , Surkesnas SKRT di dapatkan prevalensi kebutaan 1,2% dan hasil Riskesdas tahun 2013 didapatkan angka 0.4% ( validasi PERDAMI 0,6%). Data Rapid Asssessment of Cataract Surgical Services (RACCS) di Propinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2005 didapatkan prevalensi kebutaan 4,03% pada populasi usia > 50 tahun dan dari hasil RAAB di Nusa Tenggara Barat tahun 2013 angka prevalensi kebutaan 4%( Pusdatin, 2014).
Menurut standar WHO, batas prevalensi kebutaan yang tidak menjadi masalah kesehatan adalah 0,5% dan jika prevalensi di atas 1 % menunjukkan adanya keterlibatan masalah sosial / lintas sektor. Melihat hasil – hasil survei di Indonesia tampaknya prevalensi kebutaan pada semua umur mengalami penurunan. Namun di Propinsi NTB, angka kebutaan masih tinggi yaitu 4% dari hasil RAAB tahun 2013. Dengan angka kebutaan yang di atas 4% menjadikan kebutaan di Indonesia khususnya di Provinsi NTB tidak hanya menjadi masalah kesehatan tetapi sudah menjadi masalah sosial. Prevalensi kebutaan juga dipengaruhi factor social ekonomi dimana akses untuk mendapatkan pencegahan dan penanganan gangguan pengelihatan dan kebutaan di pengaruh oleh keterbatasan finansial, informasi dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Perdami. 2017 menyatakan bahwa 0,78% kebuataan akibat katarak yang tidak di terapi di Indonesia dan pada Survey nasional 2014 dilaporkan prevalensi katarak 1,8%. Penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia adalah :
- Katarak – 0,7%
- Galukoma – 0.20%
- GangguanRefraksi – 0,14%
- Gangguan Retina – 0,13%
- AbnormalitasKornea – 0,10%
Kondisi status kesehatan mata di Indonesia :
- 3 juta orang menderita kebutaan ( 1,5 dari populasi)
- Setiap menit terdapat 1 orang menderita kebutaan
- Tertinggi di South East Asia
- Insiden Kebutaan di setiap tahun yakni 0,1%
- Kebanyakan ditemukan pada populasi yang memiliki ekonomi rendah
- 80.00 operasi katarak/ tahun
- Backlog 130.000/ tahun
- Populasi di Indonesia yang menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan di populasi negara berkembang
Pada tanggal 15 Februari 2000, Megawati Soekarno putri ( waktu itu Wakil Presiden RI) mencanangkan program VISION 2020 – The Right to Sight di Indonesia, mengikuti VISION 2020 GLOBAL yang diluncurkan secara resmi oleh Direktur Jendral WHO di Jenewa pada tanggal 18 Februari 1999. Vision 2020 adalah inisiatif Global yang bertujuan untuk mengurangi kebutaan pada tahun 2020. Misi dari Vision 2020 adalah untuk mengeliminasi penyebab utama dari semua kebutaan yang dapat dicegah dan diobati sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2020. Tujuan Visison 2020 : The Right to Sight adalah menyelesaikan misinya dengan mencapai tiga sasaran utama yaitu :
- Meningkatkan data penyebab kebutaan dan solusi yang akan membantu untuk menghilangkan masalah.
- Mengidentifikasi dan menjamin sumber daya yang diperlukan di seluruh dunia untuk memberikan peningkatan program pencegahan dan pengobatan.
- Memfasilitasi perencanaan, pengembangan dan implementasi dari tiga strategi inti vision 2020 oleh program Nasional.
Strategi Inti dari VISION 2020 :
- Kontrol terhadap penyakit :memfasilitasi pelaksanaan program-program khusus untuk mengontrol dan mengobati penyebab utama kebutaan.
- Pengembangan sumber daya manusia : pelatihan bagi dokter mata dan perawat mata lainnya untuk memberikan perawatan mata.
- Infrastruktur dan pengembangan teknologi tepat guna : membantu peningkatan infrastruktur dan teknologi untuk pelayanan kesehatan mata yang selalu tersedia dan mudah diakses.
Saat ini, lebih dari 17 tahun sesudah pencanangan VISION 2020 untuk Indonesia dan dua tahun menjelang tahun 2020, penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia masih belum seperti yang diharapakan. Banyak sarana kesehatan di tingkat kabupaten / kota belum memiliki fasilitas kesehatan mata serta terbatasnya sarana prasarana untuk kegiatan penanggulangan kebutaan dan gangguan penglihatan terutama di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (FKTP/Puskesmas). Selain dari faktor saran kesehatan, stigma dimasyarakat bahwa gangguan penglihatan bukan merupakan masalah kesehatan yang serius, menyebabkan gangguan penglihatan diabaikan dan baru dianggap serius bila menimbulkan kecacatan yaitu kebutaan.
Dalam rangka mengatasi permasalahan gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia, Pemerintah mengutamakan upaya promotif-preventif melalui pendekatan:
- Pengendalian faktor risiko,
- Kegiatan skrining atau deteksi dini gangguan penglihatan dan kebutaan pada kelompok berisiko, serta
- Penguatan akses masyarakat pada layanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu. Hal ini juga tidak lepas dari upaya kuratif rehabilitatif yang menunjang keberhasilan program.
Sejalan dengan Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK), maka kepedulian dan pengetahuan masyarakat perlu ditingkatkan. The Fred Hollows Foundation (FHF), sebuah yayasan dari Australia telah menandatangani nota kesepahaman dengan KEMENKES RI pada tanggal 30 Maret 2017, guna membantu upaya penanggulangan masalah gangguan penglihatan dan kebutaan . Di Propinsi NTB, FHF membangun kerjasama dengan para pihak guna memperkuat dan melaksanakan program penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan, melalui implementasi program “ Seeing is Believing” (SIB) dan Program “ Vision for the Indonesian People” (VIP).
“ Seeing is Believing” (SIB) merupakan program untuk mengurangi angka kebutaan di usia sekolah antara 7 – 15 tahun yang mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa Barat. Adapun kelompok sasarannya adalah 97 Puskesmas, 97 orang dokter puskesmas, 197 Perawat puskesmas, 2.421 SD/Sederajat , 937 SMP/ sederajat, 937 guru penjaskes, 2.421 guru SD dan 536,696 orang siswa. Kegiatan yang dilaksanakan adalah:
- Pelatihan untuk Dokter
- Pelatihan untuk Perawat
- Pelatihan untuk Guru
- Screening untuk siswa sekolah
- Pendirian Vision Center
- Subsidi Kacamata utnuk siswa tidak mampu.
- Deteksi dini dan rujukan kasus kelainan refraksi di tingkat SD dan SLTP
- Penguatan promosi melalui pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan dan penguatan informasi kesehatan sekolah melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
- Penguatan tindak lanjut hasil deteksi dini kelainan refraksi
- Pengawasan dan evaluasi terkait pengumpulan dan analisis data gangguan penglihatan dan kebutaan
Program“ Vision for the Indonesian People” (VIP) dilaksanakan utnuk masyarakat umum yang mengalami gangguan penglihatan dan kebutaan karena katarak di kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Kelompok sasarannya adalah : 2 RSUD kab/Kota, 1 RSUD Provinsi NTB, BKMM dan 28 Puskesmas, 8 dokter mata RSUD dan BKMM, 20 Perawat RSUD dan BKMM, 28 dokter Puskesmas, 56 Perawat Puskesmas , masyarakat dan operasi katarak untuk 2.000 orang.
Hasil yang diharapkan dari program penangulangan gangguan penglihatan dan kebutaan kerjasama Dinas Kesehatan Provinsi NTB dengan The Fred Hallows Foundation (FHF) ini adalah :
- Peningkatan kapasitas SDM (Pelatihan) dari Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten, Puskesmas dan Kader.
- Dilaksanakannya Operasi Katarak
- Penguatan Sistem informasi pelaporan
- Penggulan gangguan penglihatan dan kebutaan melalui upaya promotif ( advokasi, Sosialisasi, pemberdayaan masyarakat, kemitraan dan media KIE ) dan preventif.
Salah satu kegiatan yang telah dilaksanakan saat ini untuk program SIB adalah pelatihan bagi tenaga kesehatan (dokter dan perawat ) puskesmas di kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur sebanyak 3 angkatan ( 86 0rang). Tujuan Pelatihan ini adalah agar peserta pelatihan mampu melatih pada pelatihan penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan bagi tenaga non kesehatan / guru-guru di wilayah kerja Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama sesuai dengan kurikulum. Setelah pelatihan, dokter dan perawat puskesmas akan melatih guru-guru SD dan SLTP sederajat di wilayah kerjanya agar guru-guru mampu melakukan deteksi dini gangguan penglihatan dan kebutaan pada anak didiknya, serta melakukan system rujukan untuk menangani gangguan yang ditemukan. Dinas Kesehatan Provinsi NTB dalam hal ini Bidang P3KL dan Bapelkes menjadi leading sector pelaksanaan pelatihan dan FHF akan selalu melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan untuk mencapai tujuan.
Oleh : Dr. I Gusti Ayu Rai Astarini, M.Kes