
INTERVENSI PENINGKATAN KOMPETENSI TATA KELOLA OBAT MENGACU PADA ANALISA KEBUTUHAN DIKLAT
A.A Istri Agung Trisnawati, SSi., M.Pd
Widyaiswara Ahli Muda Bapelkes Mataram
Kehebohan terlihat pada petugas pengelola obat tingkat kabupaten dan puskesmasbaik kabupaten Lombok Barat maupun Lombok Timur. Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat melatih 70 orang yang tersebar dalam 2 angkatan sedangkan Lombok Timur hanya 1 angkatan berjumlah 30 orang. Pelatihan dipandu oleh pengendali diklat dari fungsional widyaiswara ahli Balai Pelatihan Kesehatan Mataram. Penulis merupakan salah seorang dari 3 orang widyaiswara yang bertugas sebagai pengendali diklat pada angkatan I baik pada Kabupaten Lombok Barat maupun Lombok Timur. Selamat Pagi…..‘!demikiansalam pembuka menyapa pagi yang akan selalu dijawab bersamaan dengan kompak oleh peserta.‘Pagi, pagi, pagi….’ (teriak dengan kepalan tangan 3 kali naik ke atas untuk menambah semangat). Yel-yel dengan teriakkan dan hentakkan kaki keras terdengar bergemuruh.
Pelatihan Angkatan I untuk kabupaten Lombok Barat dilakukan didua kelas paralel berlangsung pada 27 November – 1Desember 2017, angkatan II 4 – 8 Desember 2017sedangkan untuk Kabupaten Lombok Timurhanya satu kelas, 11 – 15 Desember 2017. Peserta kabupaten terdiri dari staf Instalasi Farmasi Kabupatendan staf lintas program (Seksi SIK dan Aids Malaria Tuberkulosis) Dikes Kabupaten Lobar, sedangkan peserta dari puskesmas meliputi kepala Tata Usaha, fungsional dokter, dan pengelola obat puskesmas. Peserta selama 5 hari mencicipi hangatnya kursi ruangan kelas di ruang Rinjanidan Cendrawasih Hotel Jayakarta Senggigi dengan suguhan sncak sehat germas selain kopi atau teh ditemani kue atau jajanan tak lupa potongan buah buahan segar, sedangkan untuk Kabupaten Lombok Timur di Ruang Gili Meno Hotel Lombok Raya Mataram(sayangnya kala itu snacknya seperti kebanyakkan snack pertemuan pada umumnya…tanpa buah). Jauh berbeda dengan 2 minggu sebelumnya, perwakilan pengelola obat dan pemegang komitmen di puskesmas dan kabupaten baik Kabupaten Lobar dan Lotim harus bergelut dengan analisa kebutuhan diklat dengan out put kegiatan adalah menghasilkan kompetensi yang diinginkan untuk pemilihan bahan ajar diklat, GBPP dan Modul pelatihan. Jadi peserta pelatihan menggunakan kurikulum dengan pilihan mata diklat dari oleh dan untuk mereka sendiri karena sebagaian besar peserta pelatihan kompetensi pengelola obat ini adalah juga peserta workshop analisa kebutuhan diklat tersebut.Kenapa kabupaten membuat kurikulum sendiri?…Bukannya sudah ada kurikulum nasional terakreditasi?…… Pelatihan dirancang bekerjasama dengan Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes) Matarammenggunakan panduan kurikulum lokal dengan standar suatu pelatihan tersertifikasi. yang diawali dengan Workshop Analisa Kebutuhan Diklat Pengelola Obat Bersertifikat. Dari workshop tersebut, dipilih mata ajar. diklat disesuaikan dengan kompetensi yang diperlukan bagi pengelola obat ditingkat kabupaten dan puskesmas yang dikemas dalam kurikulum lokal dengan pertimbangan kurikulum nasional Pelatihan Pengelolaan Obat yang ada merupakan produk yang telah dihasilkan 10 tahun yang lalu dan pelatihan terakhir yang telah dilakukan program terkait pun seumur produk kurikulum tersebut padahal dalam aturan kediklatan suatu kurikulum harus ditinjau ulang tiap 5 tahun sekali, disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Penyusunan kurikulum berupa pemilihan kompetensi, penyusunan GBPP dan modul dengan berpedoman petunjuk teknis pelatihan tata kelola obat 1 dan 2 serta materi A1 sampai A10 yang diperoleh pada Pelatihan TPPK Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan yang telah dilaksanakan sebelumnya melibatkan konsultan SCM GF HSS Kabupaten Lobar dan Lotim, pemegang program farmasi Dinkes Provinsi NTB dan Kabupaten Lobar serta Lotim. Saat workshop penyusunan modul pelatihan, dr. Setiawan Suparan, MPH/ Konsultan SCM Pusat dan sekaligus sebagai Kasubag. Umum dan kepegawaian menyatakan untuk kali ini pusat memberikan kabupaten membuat dan memilih kompetensinya sendiri terkait tata kelola obat sampai GBPP sehingga pelatihan peningkataan kapasitas bagi pengelola obat yang dilakukan benar merupakan kebutuhan dari bawah atau pemakainya..kebijakan botton up …..nanti berawal dari ini akan digodok menjadi kurikulum pusat…..(keren bukan……) terima kasih atas semagat dan partisipasinya bagi rekan-rekan pengelola obat yang telah berkontribusi pada saat workshop..(2 jempol untuk kalian…….) dan beliau juga menambahkan keterbatasan Sarjana Farmasi dan D III Farmasi di Puskesmas sebagai sumberdaya manusia pengelola obat menyebabkan perlunya SDMK lintas profesi seperti tenaga kesehatan(nakes.)selain farmasi perlu dibekali tentang tata kelola obat dan perbekes…ini alasan kuat peserta pelatihan kriterianya tidak hanya berpendidikan farmasi saja tetapi nakes yang bertugas dibidang pengelolaan obat fasyankes (Apoteker, Dokter, D III Farmasi, SAA, SLTA Sederajat)
Pelatihan yang dikawal oleh 2 srikandi farmasi sebagai konsultanSCM GF HSS yang handal di bidang farmasi Dra. Sri Utami Ekaningtyas Apt.(Lombok Barat)dan Dra. Gita Suciati Saleh, Apt.(Lombok Timur) bertujuan agar peserta mampu melakukan pengelolaan Obat dan perbekalan kesehatan di tingkat Kabupaten dan Puskesmas sesuai standar. Pelatihan angkatan I untukKabupaten Lombok Barat dibuka oleh Bapak L. Budarja, SKM., M.Kes selaku PJOK Provinsi NTB yang juga langsung memberikan materi dasar yaitu Kebijakan Tata Kelola Obat dan Perbekes Lobar sebagai materi pertama dalam kelas.Semua peserta bahkan panitia pun antusias mengikuti proses pelatihan. Pada materi Building Learning Commitment peserta dikondisikan siap lahir batin menerima pembelajaran melalui perkenalan dan permainan pencairan yang terkait materi tata kelola obat. Para pengajar dan nara sumber kabupaten dan provinsi pun total habis mengerahkan segala kemampuan dalam mentransfer ilmu dan pengalaman mulai dari materi Seleksi dan Kuantifikasi Obat dan Perbekalan Kesehatan, Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan, Penyimpanan dan Distribusi Obat dan Perbekalan Kesehatan, Manajemen sumber daya pengelola Obat, Kompetensi Personal. Pembelajaran berlansung dengan metode Ceramah Tanya Jawab, curah pendapat, penugasan, diskusi kelompok dan role play.Pada sesi akhir ada penuangan rencana kegiatan peserta latih dalam format Rencana Tindak Lanjut (yup, sesi ini menyadarkan peserta bahwa masih ada tugas tambahan yang harus dikerjakan setelah bertugas kembali di tempat kerjanya).Pelatihan ditutup dengan laporan evaluasi penyelenggaraan pelatihan oleh pengendali diklat.Pelatihan dianggap berhasil karena lebih dari 75% peserta mengalami kenaikan dari pre test ke post test dengan progress dalam kriteria sedang sampai tinggi. Beberapa rekomendasi yang penulis bisa sampaikan dalam hal ini sebagai pengendali diklat adalah perlu peninjauan ulang struktur program dengan menambahkan Praktik Kerja Lapangan pada model Gudang Obat dan atau Puskesmas dengan tata kelola obat yang baik sebanyak 5 JP dengan mengurangi JP penugasan dengan rincian 2 JP pada mata diklat pengadaan, 2 JP pada penyimpanan, distribusi dan transportasi dan 1 JP pada mata diklat sistema Informasi Tata Kelola Obat karena penugasan pada mata diklat di atas dirasakan terlalu lama. Perlu diadakan Evaluasi Pasca Pelatihan (EPP) dalam kurun waktu minimal 3 bulan atau maksimal 6 bulan setelah pelatihan berakhir untuk mengetahui penerapan materi pelatihan di wilayah kerja asal peserta latih dan…..yang patut dan harus dipertimbangkan jika mengingingkan nilai akreditasi pelatihannya lebih bagus seyogyanya tempat pelatihan di Balai Pelatihan Kesehatan Mataram karena sebagai institusi penyelenggara diklat yang telah terakreditasi dan restribusi yang diterima sebagai PAD akan diterima kembali untuk pembangunan bidang kesehatan di Provisi Nusa Tenggara Barat.
Kita sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pantas mengucapkan terima kasih pada Global Fund mitra Dinas Kesehatan sebagai peyedia dana pelatihan. Kenapa dan mengapa pelatihan ini dibiaya oleh proyek GF HSS SCM……begini, sejalan dengan SKN yang dalam pelaksanaannya menekankan antara lain pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat, serta profesionalisme sumber daya manusia kesehatan, melalui proyek Perkuatan Sistem Kesehatan The Global Fund Health System Strengthening(GF – HSS)tahun 2016 – 2018, ada 2 program yang dihibahkan yaitu program Manajemen Tata Kelola Obat SCM (Supply Chain Management) dan Program Sistem Informasi Kesehatan SIK (Health System Strengthening). Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur merupakan 2 kabupaten di Nusa Tenggara Barat yang menjadi lokasi proyek GF HSS dari 10 Kabupaten / Kota yang berada di 5 Provinsi sasaran di Indonesia.Tujuan Program Tata Kelola Obat SCM adalah memperkuat manajemen pengelolaan obat di Kabupaten/Kota agar dapat berkontribusi terhadap keberhasilan pembangunankesehatan.Untuk diketahui, latar belakang diadakannya pelatihan tata kelola obat ini adalah berdasarkan hasil Self Assesment (SA) yang telah dilaksanakan di puskesmas dan di IFK proyek GF HSS di kabupaten Lombok Barat dan Lombok Timur bulan Februari 2017, masalah yang ditemukan terkait komponen sumberdaya manusia (SDM) dan pengembangan kapasitas pengelola obat antara lain: a) jumlah dan kompetensi SDM belum memadai dan b) petugas farmasi belum pernah mengikuti pelatihan terkait pengelolaan obat.Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka perlu suatu kegiatanpeningkatan capacity building sumber daya manusia pengelola obat di tingkat Kabupaten dan tingkatpuskesmas. Capacity building yang dimaksud adalah peningkatan kompetensi SDMK Pengelola Obat dan perbaikan sistem Tata Kelola Obat.
Dengan bersertifikat, kami akan berusaha menjadi SDM-PO yang dapat dihandalkan dalam tata kelola demikian tekad bulat para pengelola obat. Semoga semangat ini terus berlanjut, hari ini dikawal oleh SCM GF HSS untuk selanjutnya semoga tetap semangat walaupun program hibah ini kelak berakhir ….berharap kita bisa mandiri dengan hasil yang tak kalah hebat demi untuk pembangunan kesehatan.