Dinkes NTB Ajak Tokoh Agama & Para Bapak Pahami Pentingnya Imunisasi
Dinkes NTB bekerja sama dengan UNICEF, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) NTB, Kemenkes RI, Dinas Kesehatan Kabupaten/kota dan Dinas DP3AKB dalam pelaksanaan Sosialisasi Imunisasi Kepada Tokoh Agama dan Para Bapak.
Kegiatan yang diselenggarakan pada Kamis (19/9) di Hotel Golden Palace Mataram ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para tokoh agama dan para bapak tentang pentingnya imunisasi, baik dari segi manfaat maupun risiko bila anak tidak diimunisasi akibat kekebalan tubuh yang lemah, serta meningkatkan komitmen dukungan untuk memanfaatkan layanan imunisasi.
Kegiatan ini berangkat dari isu hambatan terkait gender yang dapat berdampak tidak langsung pada imunisasi. UNICEF bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi NTB untuk mengatasi hambatan terkait gender, dan memastikan semua anak dari semua jenis kelamin memiliki akses yang sama terhadap vaksin.
Norma sosial dan budaya serta status perempuan yang tidak setara di banyak masyarakat dapat mengurangi peluang anak-anak untuk divaksinasi, dengan mencegah pengasuh mereka mengakses layanan imunisasi. Karena norma gender, perempuan seringkali mendapat tanggung jawab membawa anak-anak untuk vaksinasi, namun perempuan di negara-negara berpenghasilan rendah sering menghadapi hambatan terkait gender untuk melakukan hal tersebut, termasuk keterbatasan waktu karena beban kerja yang tinggi, dana terbatas untuk transportasi maupun kurangnya akses ke informasi tentang pencegahan penyakit.
Beberapa hambatan umum yang berkaitan dengan gender terhadap vaksinasi diantaranya, pengasuh mungkin kurang memiliki informasi dan kesadaran tentang manfaat vaksinasi, pembagian tugas dalam rumah tangga dapat mengurangi keterlibatan ayah dalam tugas mengasuh anak, termasuk vaksinasi. Selain itu, status sosial ekonomi yang rendah dari pengasuh atau kurangnya akses perempuan terhadap dana rumah tangga dapat membatasi kemampuan untuk menanggung biaya tidak langsung vaksinasi.
Praktik keagamaan atau nilai-nilai budaya juga dapat memberi batasan bagi perempuan yang mengasuh anak untuk mencari layanan imunisasi dari petugas kesehatan laki-laki. Ada pula hambatan terkait perjalanan jauh ke klinik kesehatan yang dapat membuat perempuan, khususnya ibu muda, enggan membawa anak untuk mendapatkan imunisasi karena alasan keselamatan dan mobilitas.
Waktu tunggu yang lama di klinik dan tempat imunisasi yang hanya buka selama jam kerja dapat menimbulkan konflik dengan pengasuh yang bekerja di kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Terakhir, sikap negatif dari beberapa penyedia layanan kesehatan dapat membuat perawat enggan untuk kembali melakukan kunjungan untuk menyelesaikan jadwal imunisasi.
Upaya untuk lebih memahami hambatan dan aktivitas terkait gender sangat penting untuk menemukan solusi bagi hambatan yang seringkali tidak kentara namun penting, yang dapat mencegah anak-anak dari semua jenis kelamin untuk mendapatkan imunisasi.
Misalnya, dalam situasi di mana dianggap tidak pantas bagi seorang wanita atau anak perempuan untuk menemui vaksinator atau petugas kesehatan pria, perlu dipahami dan dipastikan bahwa terdapat petugas kesehatan wanita terlatih dan tersedia untuk memberikan layanan imunisasi kepada wanita dan anak-anak.