PIT POGI 2019

Mataram, (10/07/2019). Dinas Kesehatan NTB turut hadir dalam kegiatan Workshop dan Lokakarya Managemen Triple Eliminasi dan Rasional Penggunaan Antibiotika.

Melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan yang bekerjasama dengan Organisasi Profesi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Dinkes NTB yang diwakili oleh Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P3KL) Dra. Ratna Tunjung Luih, Apt., M. Sc.Ph., turut secara aktif dalam upaya peningkatan percepatan Program Triple Eliminasi guna mencapai Getting To Three Zerro pada tahun 2030.

Acara yang dilaksanakan di Surabaya pada tanggal 4 s/d 6 Juli 2019 tersebut dihadiri oleh Kepala Bidang P2 dari 15 Provinsi se-Indonesia dan seluruh anggota POGI, menghasilkan beberapa rekomendasi, baik pada level pemangku kebijakan maupun pada level RS. Yaitu :

A. Rekomendasi Triple Eliminasi

Level Pemangku Kebijakan (Dinas Kesehatan )

  1. jumlah  sasaran ibu hamil  sesuai PMK No 52 tahun 2017 tentang eliminasi HIV, sifilis dan hepatitis dari ibu ke anak melalui 3 strategi yaitu:(1). penetapan dan pelaksanaan strategi eliminasi penularan; (2). penetapan dan pelaksanaan peta jalan;   dan (3).  intensifikasi kegiatan eliminasi penularan
  • Menetapkan target dan indikator program eliminasi penularan tiap tahun untuk: infeksi baru HIV, Sifilis, dan/atauHepatitis B dan melaporkan pencapaiannya.
  • Mendorongmeningkatkan program eliminasi penularan di masyarakat khususnya penularan ibu hamil dengan cara :
    • Peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan bagi ibu dan anak sesuai dengan standar dimana pemeriksaan deteksi HIV, sifilis dan hepatitis sebaiknya bisa dilakukan di fasilitas kesehatan pemerintah (puskesmas dan rumah sakit) , swasta (Klinik VCT di rumah sakit swasta di klinik pratama dan rumah sakit swasta) dan rujukan  Tripel E dan IMS di praktek mandiri.
  • Maping wilayah untuk rujukan ibu hamil dalam pemeriksaan Triple E dari praktek mandiri (spesialis dan bidan praktek mandiri).
  • Peningkatan penyediaan sumber daya di bidang kesehatan yang mampu  melakukan deteksi dengan pelatihan petugas laboratorium di Puskesmas, RS swata, klinik swasta.
  • Pembinaan rumah sakit di daerah termasuk swasta sehingga di semua rumah sakit pemerintah dan swasta sehingga pemeriksaan, penyediaan RDT, antenatal care, persalinan dan perawatan neonatus  pasien dengan HIV, Sifilis dan Hepatitis.
  • Menyebarluaskan informasi dan peningkatan sarana berupa pengadaan dan distribusi reagen diagnostik  untuk Tripel E  termasuk EID, pemeriksaan viral load di rumah sakit rujukan khusus(mempunyai sarana pemeriksan viral load), termasuk pemanfaatan alat gene expert yang telah terdistribusi ke rumah-rumah sakit di seluruh Indonesia.
  • Peningkatan jejaring kerja dan kemitraan serta kerja sama lintas program dan lintas sector dalam bentuk KOPI (Koalisi Organisasi Profesi Indonesia) dalam penanganan program Tripel E.
  • Optimalisasi pengisian dan menulis hasil pemeriksaan di buku KIA oleh SpOG.
  • Surveilans kesehatan pada kasus Tripel E (HIV, Sifilis dan Hepatitis B) dilaksanakan dengan melakukan pencatatan, pelaporan, dan analisis data ibu hamil dan anak yang terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B, sebagai dasar pelaksanaan Eliminasi Penularan minimal meliputi data angka deteksi (Jumlah kasus positif dari kasus yang diperiksa) dan angka penularan (Jumlah kasus bayi positif dari ibu dengan penyakit)  dan data ini diseminasikan kepada semua pemangku kesehatan dan Pemda masing masing dan dilakukan surveilans setiap tahun.
  • Peningkatan kualitas ANC pada ibu hamil dalam rangka peningkatan deteksi dan penanganan lanjutan dengan cara :
    • Deteksi dini sebagaimana  dilakukan oleh tenaga kesehatan di setiap fasilitas pelayanan kesehatan pada saat awal ANC dan trimester 1 pemeriksaan laboratorium dasar (Hemoglobin, Golongan darah) dilakukan dengan pengambilan sampel darah untuk Tripel E.
  • Sosialisasi penanganan bagi ibu hamil sampai menyusui yang terinfeksi kepada petugas kesehatan melalui organisasi profesi (khususnya bidan, perawat, dokter umum, spesialis kebidanan)  tentang  HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B sesuai dengan pedoman penanganan Infeksi Tripel E yang dikeluarkan POKJA ISR (sosialisasi buku dan diseminasi).
  • Sosialisasi penanganan bagi bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV, Sifilis, dan/atau Hepatitis B dilakukan melalui pemberian kekebalan (imunisasi), profilaksis, diagnosis dini, dan/atau pengobatan dan mendorong dokter anak untuk membuat rekomendasi penanganan bayi yang mengacu pada  sesuai dengan pedoman penanganan Infeksi Tripel E yang dikeluarkan POKJA ISR (sosialisasi buku dan diseminasi).

Level Rumah Sakit

Penanganan HIV pada Ibu Hamil

  1. Peningkatan kualitas ANC pada ibu hamil dalam rangka peningkatan deteksi dan penanganan lanjutan dengan cara :
  • Deteksi dini sebagaimana  dilakukan oleh tenaga kesehatan di setiap fasilitas pelayanan kesehatan pada saat awal ANC dan trimester 1  pemeriksaan laboratorium dasar (Hemoglobin, Golongan darah) dilakukan dengan pengambilan sampel darah untuk HIV termasuk pemeriksaan Tripel E.
    • Peningkatan cakupan  deteksi pasien di rumah sakit yaitu semua ibu hamil ditawarkan untuk tes HIV  dan Penawaran dilakukan dengan cara PITC.
    • Pada kelompok ibu yang berisiko HIV yang hasilnya negatif pada pemeriksaan trimester 1, pemeriksaan rapid tes bisa diulang dikerjakan pada trimester 3 atau saat persalinan.
    • Deteksi juga dilakukan kalau ibu datang saat masa nifas dimana belum dilakukan sebelumnya.
    • Semua ibu hamil dengan HIV (+) diberi ARV tanpa memandang CD4 nya & usia kehamilan
    • ARV pada kasus HIV positif diteruskan seumur hidup.
  • Persalinan aman untuk Ibu HIV(+)  Boleh lahir normal dengan syarat pemberian ARV  (minimal 6 bulan) dan UP yang sama dengan persalinan Ibu tanpa HIV
  • Rumah sakit membuat panduan penanganan persalinan khususnya panduan operasi berencana pada ibu dengan HIV
  • Seksio sesaria elektif pada kasus HIV pada ibu hamil dilakukan pada umur kehamilan ≥ 38 minggu kecuali ada indikasi obstetri yang lain. Persalinan pervaginam dimungkinkan dengan konseling apabila ibu sudah minum obat ARV selama enam bulan dan syarat lain terpenuhi (tidak ada faktor risiko, tetap minum obat)
  • Penatalaksaan Nifas bagi Ibu dengan HIV (+) direkomendasikan untuk tidak memberikan ASI.

Pemberian ASI dapat dipertimbangkan apabila syarat pemberian PASI tidak terpenuhi, tidak mix feeding, ibu sudah minum ARV lebih 6 bulan dan tetap melanjutkan ARV dan bayi tetap diberikan ARV profilaksis

Untuk ibu yang memilih memberikan ASI eksklusif maka pengobatan menggunakan kombinasi Zidovudin, sedangkan pada ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif maka pengobatannya menggunakan Zidovudinsaja.  

  • Kontrasepsi pada ibu HIV (+) : Kondom hanya digunakan untuk pencegahan IMS, tetap harus menggunakan kontrasepsi mantab/jangka panjang untuk KB
  • Pemberian ARV pada bayi: Semua bayi yang dilahirkan dari ibu HIV(+), diberikan zidovudine  sejak 12 jam pertama hingga usia 6 minggu .
  • Kotrimoksazol Profilaksis pada bayi: Bila pada minggu ke 6 diagnosis HIV belum dapat ditegakkan maka pemberian cotrimoksazole profilaksis hingga usia 12 bulan atau hingga dinyatakan negative

Diagnosis HIV Pada Bayi:untuk menegakkan diagnosa HIV pada bayi bisa dilakukan dengan penmeriksaan serologi pada usia 18 bulan. Apabila sarana memungkinkan dapat dilakukan dengan pemeriksaan virologi dengan pemeriksaan EID maupun PCR HIV RNA pada usia diatas 6 minggu. Bayi yang positif segera

Hepatitis B Pada Ibu Hamil

  1. Semua ibu hamil dilakukan pemeriksaan HBsAg pada pemeriksaan ANC pertama dan idealnya di trimester 1.
  2. Pada kelompok ibu dengan faktor risiko dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan HBsAg dan Anti HBs. Apabila HBsAg (-) dan anti HBs negatif ibu hamil direkomendasikan mendapatkan vaksinasi Hepatitis B pada ibu hamil.
  3. Pada ibu hamil dengan HBsAg  (+) apabila memungkinkan direkomendasikan untuk memeriksa viral load (HBV DNA kuantitatif) dan fungsi hati. Pada ibu dengan viral load tinggi (>6 log 10 copies/ml atau > 200.000 IU/ml) dan gangguan fungsi hati diberikan pengobatan dengan antiviral pada trimester ke-3 (dirujuk ke hepatolog atau spesialis penyakit dalam).
  4. Pada ibu yang tidak memungkinkan diperiksakan viral load dilakukan pemeriksaan HBsAg titer. Apabila titer tinggi > 3log10 IU/mldianjurkan untuk memeriksa HBeAg. Bila HBeAg (+) dianjurkan untuk mendapatkan terapi antiviral pada trimester ke-3 (dirujuk ke hepatolog atau spesialis penyakit dalam).
  5. Pada ibu dengan HBsAg (+) direkomendasikan untuk dilakukan penapisan terhadap kontak dan pasangan seksualnya.
  6. Pengobatan dengan antiviral dimulai saat trimester ke 3 atau umur kehamilan 28-32 minggu sampai persalinan.
  7. Persalinan disesuaikan dengan indikasi obstetri. Belum cukupbukti persalinan seksio sesar mengurangi secara bermakna transmisi dari ibu ke janin. Pencegahan infeksi dan manajemen persalinan yang baik untuk mencegah persalinan lama dan mengurangi penggunaan instrumentasi persalinan.
  8. Kontrasepsi pada ibu dengan hepatitis B mengikuti rekomendasi WHO Medical Eligibility Criteria for Contraceptive Use 2015. Penggunaan semua jenis kontrasepsi hormonal tidak memperberat perjalanan penyakit hepatitis akut, sirosis, ataupun risiko karsinoma hepatoseluler.
  9. Bayi lahir dari ibu dengan Hepatitis B (+) diberikan imunoprofilaksis segera setelah lahir dengan vaksin HB0 (birth dose) dan Hepatitis B immunoglobulin (HBIG) idealnya kurang 12 jam dari persalinan (maksimal 24 jam) dan diikuti imunisasi aktif dengan vaksin Hepatitis yang lengkap (HB1,2 dan 3) sesuai jadwal imunisasi.
  10. Pada keadaan Hepatitis B immunoglobulin (HBIG) tidak tersedia, direkomendasikan untuk tetap melakukan pemberian HB) (birthdose) sesegera mungkin setelah bayi lahir dan diikuti imunisasi aktif dengan vaksin Hepatitis yang lengkap (HB1,2 dan 3) sesuai jadwal imunisasi.
  11. Tidak ada kontraindikasi untuk pemberian ASI eksklusif pada bayi dengan ibu hepatitis B.

Ibu hamil dengan Sifilis

  1. Pemeriksaan dilakukan pada semua ibu hamil pada saat pertama ANC idealnya di trimester pertama.
    1. Pada ibu dengan risiko tinggi (misalnya suami positif, aktivitas seksual berisiko) bila pada pemeriksaan pertama hasilnya negative , dapat diulang pada trimester 3 atau saat persalinan
    1. Pemeriksaan screening dilakukan dengan pemeriksaan non treponema (VDRL atau RPR) dan kalau positif dilakukan dengan pemeriksaan Treponema seperti  TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay), TP-PA (Treponema pallidum particle agglutination assay), FTA-ABS (fluorescent treponemal antibody absorption) dan TP rapid (Treponema palidum).
    1. Apabila tidak ada pemeriksaan non treponema sebagai penapisan pertama, penapisan bisa dilakukan dengan pemeriksaan TP Rapid. Apabila didapatkan hasil postif juga dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan treponema atau RPR
    1. Pemeriksaan TP rapid juga bisa dilakukan di fasilitas primer, dan apabila didapatkan hasil positif harus dirujuk ke fasilitas rumah sakit yang tersedia pemeriksaan konfirmasi dengan pemeriksaan tes treponema atau RPR.
    1. Karena ada risiko penularan pada bayinya yang dapat bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil tes non treponema positif atau treponema positif harus segera diobati.
    1. Di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, jika RPR atau TPHA tidak tersedia, TP rapid dapat digunakan untuk skrining sifilis ibu hamil. Jika mengunakan TP Rapid dan hasilnya positif, bila memungkinkan rujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan dengan laboratorium yang lebih lengkap untuk diperiksa titer RPR
    1. Bila pada pemeriksaan di fasyankes primer TP Rapid (+) dan tidak memungkinkan dilakukan rujukan ke rumah sakit, pengobatan dapat dilakukan di Pusat Rujukan IMS Puskesmas atau langsung di terapi di Puskesmas tersebut
    1. Setelah diagnosis sifilis pada ibu hamil, evaluasi sonografi dilakukan untuk janin untuk mencari tanda tanda dari sifilis kongenital pada saat dilakukan anomaly scanning
    1. Terapi sifilis pada kehamilan. Pemberian penisilin G parenteral merupakan pengobatan yang disarankan pada semua tahapan sifilis pada kehamilan. Sifilis primer dan sekunder :Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM dosis tunggal ; dosis kedua dianjurkan satu minggu kemudian. Pada sifilis laten : Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM, satu kali/minggu selama 3 minggu berturut-turut.
    1. Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl penicillin dan yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis dosis Procain benzyl penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari berturut turut, pasien mendapatkan dosis total 18 juta IU
    1. Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan sifilis dilakukan pengamatan kemungkinan terjadinya sifilis kongenital
  1. Rekomendasi Rasionalisasi Penggunaan Antibiotika

Level Pemangku Kebijakan (Dinas kesehatan Provinsi)

  1. Dilakukan pembahasan dan analisis paporan direktur rumah sakit tentang pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit dari data seluruh rumah sakit yang ada di Kabupaten dan membuat rekomendasi lanjutan.
  • Dinas Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dengan mengikutsertakan KPRA, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi profesi kesehatan terkait
  • Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan melalui: advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis, pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan monitoring dan evaluasi.
  • Dinas Kesehatan dapat memberikan sanksi administratif terhadap rumah sakit yang melanggar ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antibiotika Di Rumah Sakit.

Level Rumah Sakit (RS)

  1. Mendorong Pelaksanaan Antibitic Stewardship Programme
  2. Membuat Komite Penatalayanan Antibiotika (Antibitic Stewardship Committee):
  3. Mendorong masing-masing KSM (Kesatuan Staf Medik) untuk membuat kebijakan, guideline dan clinical pathway untuk kasus-kasus infeksi di area masing-masing
  4. Membuat/ merancang pelatihan dan pendidikan untuk membangun kesadaran petugas medis dan paramedis di lingkungan RS
  5. Membuat sekala prioritas area mana program tersebut dilaksanakan
  6. Melakukan monitoring dan evaluasi Program Penatalayanan Antibiotika (Antibitic Stewardhip Programme) secara berkala
  7. Membuat Strategi Strategi Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
  8. Pengendalian perkembangan mikroba resisten terhadap antibiotika seleksi penggunaan antibiotik dan kebijakan penggunaan antibiotik secara bijak
  9. Melakukan pencegahanpenyebaran mikroba resisten terhadap antibiotika melalui peningkatan ketaatan terhadap prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi
  10. Mendorong setiap RS untuk melaksanan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba secara optimal melalui:
  11. Membentuk tim pelaksana program Pengendalian Resistensi Antimikroba
  12. Menyusunan kebijakan dan panduan penggunaan antibiotika di RS tersebut
  13. Melaksanakan penggunaan antibiotika secara bijak
  14. melaksanakan prinsip pencegahan pengendalian infeksi di RS
  15. Melakukan evaluasi dan monitoring penggunaan antibiotika dan pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *