Jurnal Pendewasaan Usia Perkawinan

Oleh: H. Mulyadi Fadjar, S.Kp., M.Kes.
Widyaiswara Ahli Muda Bapelkes Provinsi NTB.

A. Latar Belakang

Usia perkawinan yang masih muda bagi perempuan menjadi refleksi perubahan sosial ekonomi. Pergeseran ini tidak hanya berpengaruh terhadap potensi kelahiran tetapi juga terkait dengan peran dalam pembangunan bidang pendidikan dan ekonomi.

Para remaja masih perlu bekal yang banyak, baik bekal kedewasaan fisik, mental maupun sosial ekonomi, ilmu pengetahuan umum, agama, pengalaman hidup dalam kehidupan berumah tangga. Faktor lingkungan masyarakat dan orangtua cukup berpengaruh terhadap terhadap pembentukan konsep diri pada anak, karena si anak melihat kalau ibunya banyak yang juga melakukan pernikahan dini. Faktor tingkat ekonomi orangtua yang rendah banyak menyebabkan orangtua menikahkan anaknya di usia yang masih muda. Peranan orang tua sangat besar artinya bagi psikologis anak-anaknya. Mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi tumbuh perkembangan anak sejak lahir hingga dewasa, maka pola asuh anak dalam perlu disebarluaskan pada setiap keluarga.

Di Provinsi NTB isu pernikahan usia dini cukup tinggi. Data BPS menunjukan persentase perkawinan pertama perempuan umur 10-19 tahun pada tahun 2016 : 51,19 %, dengan rata-rata usia kawin pertama perempuan masih dibawah target (20,15 tahun) dari target 20,50 tahun. Faktor penyebab tingginya angka pernikahan usia dini antara lain adalah rendahya pengetahuan dan pemahaman remaja, tentang dampak pernikahan usia dini dan kesehatan reproduksi remaja. Pemahaman masyarakat tentang dampak yang akan ditimbulkan, faktor kemiskinan, faktor pendidikan, kultur sosial dan budaya serta adanya pengaruh media dan lingkungan menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan perilaku remaja. Terjadinya perkawinan usia muda di NTB ini mempunyai dampak tidak baik kepada mereka yang telah melangsungkan pernikahan juga berdampak pada anak-anak yang dilahirkannya serta masing-masing keluarganya.

Menyikapi hal tersebut Pemerintah Provinsi NTB dalam RPJMD tahun 2013 – 2018 menetapkan Program Pendewasaan Usia Perkawinan sebagai program prioritas. Gubernur Provinsi NTB juga sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE/150/1138/KUM tahun 2014 tentang Pendewasaan Usia Perkawinan. Selain itu Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat sipil menjadi kian terstruktur dan terorganisir dengan baik dalam mempromosikan hak-hak perempuan dan anak serta pencegahan pernikahan dini

B. PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN (PUP)

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia ideal pada saat perkawinan. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar pernikahan dilakukan pada pasangan yang sudah siap/dewasa dari ekonomi, kesehatan, mental/psikologi.

Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa. Program Pendewasaan Usia kawin dalam program KB bertujuan meningkatkan usia kawin perempuan pada umur 21 tahun serta menurunkan kelahiran pertama pada usia ibu di bawah 21 tahun. Pendewasaan Usia Perkawinan dan Perencanaan Keluarga merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan. Kerangka ini terdiri dari empat masa reproduksi, yaitu: 1) Masa menunda perkawinan dan kehamilan, 2) Masa mencegah kehamilan dan 3) Masa menjarangkan kehamilan, 4) Masa mengakhiri kehamilan.

I. Masa Menunda Perkawinan dan Kehamilan

Elizabeth mengungkapkan (Elizabeth B. Hurlock, 1993, h. 189) bahwa laki-laki, organ pendewasaan usia perkawinan dan hak-hak reproduksi bagi remaja di usia 14 tahun baru sekitar 10% dari ukuran matang. Setelah dewasa, ukuran dan proporsi tubuh dan organ reproduksi berkembang. Bagi laki-laki, kematangan organ reproduksi terjadi pada usia 20 atau 21 tahun. Organ reproduksi perempuan tumbuh pesat pada usia 16 tahun.

Pada masa tahun pertama menstruasi dikenal dengan tahap kemandulan remaja, yang tidak menghasilkan ovulasi atau pematangan dan pelepasan telur yang matang dari folikel dalam indung telur. Organ reproduksi dianggap sudah cukup matang di atas 18 tahun, pada usia ini rahim (uterus) bertambah panjang dan indung telur bertambah besar. Dalam masa reproduksi, usia di bawah 20 tahun adalah usia yang dianjurkan untuk menunda perkawinan dan kehamilan. Usia ini seorang remaja masih dalam proses tumbuh kembang baik secara fisik maupun psikis. Proses pertumbuhan berakhir pada usia 20 tahun, argumentasi ini maka dianjurkan perempuan menikah pada usia 20 tahun. Apabila pasangan suami istri menikah pada usia tersebut, maka dianjurkan untuk menunda kehamilan sampai usia istri 20 tahun dengan menggunakan alat kontrasepsi.

II. Masa Mencegah Kehamilan

Perempuan yang menikah pada usia kurang dari 20 tahun dianjurkan menunda kehamilannya sampai usianya minimal 20 tahun

Untuk menunda kehamilan pada masa ini ciri kontrasepsi yang diperlukan adalah kontrasepsi yang mempunyai reversibilitas dan efektivitas tinggi. Kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, Pil, IUD, implan dan suntik.

III. Masa Menjarangkan kehamilan

Masa menjarangkan kehamilan terjadi pada periode Pasangan Usia Subur (PUS) berada pada umur 20-35 tahun, merupakan periode yang paling baik untuk hamil dan melahirkan karena resiko paling rendah bagi ibu dan anak. Jarak ideal untuk menjarangkan kehamilan adalah 5 tahun, sehingga tidak ada 2 balita dalam 1 periode. Untuk menjarangkan kehamilan dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi. Pemakaian alat kontrasepsi pada tahap ini dilaksanakan untuk menjarangkan kelahiran agar ibu dapat menyusui anaknya dengan baik dan benar. Semua kontrasepsi, yang dikenal sampai sekarang dalam program Keluarga Berencana Nasional, pada dasarnya cocok untuk menjarangkan kelahiran. Akan tetapi dianjurkan setelah kelahiran anak pertama langsung menggunakan alat kontrasepsi spiral (IUD).

IV. Masa Mengakhiri Kehamilan

Masa mengakhiri kehamilan, berada pada usia PUS di atas 35 tahun, sebab secara empirik diketahui melahirkan anak di atas 35 tahun banyak mengalami resiko medik.

Ciri kontrasepsi yang dianjurkan untuk masa ini adalah kontrasepsi yang mempunyai efektivitas sangat tinggi, dapat dipakai jangka panjang dan tidak menambah kelainan yang sudah ada (pada usia tua kelainan seperti penyakit jantung, darah tinggi, keganasan dan metabolik biasanya meningkat, oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan kontrasepsi yang menambah kelainan tersebut). Kontarsepsi yang dianjurkan adalah steril, IUD dan Implan

C. BATASAN USIA ANAK DAN USIA KAWIN

Batas usia dalam melangsungkan perkawinan adalah sangat penting. Hal ini karena di dalam perkawinan menghendaki kematangan psikologis. Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri.

Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 74, yaitu perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kenyataannya masih banyak kita jumpai perkawinan di bawah umur.

Undang-Undang nomer 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak pasal 1, menjelaskan dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, masyarakat, pemerintah dan negara.

Nusa Tenggara Barat sebagai provinsi pertama yang mengatur pendewasaan usia perkawinan, dengan terbitmya Surat Edaran Nomer 150/1138/Kum tahun 2014, tentang PUP yang merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun. Surat edaran ini diterbitkan untuk mendorong seluruh satuan kerja perangkat daerah serta bupati/wali kota se-NTB melaksanakan program PUP sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Maka, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa rentang usia anak terletak pada skala 0 sampai dengan 21 tahun. Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang yang umumnya dicapai setelah seseorang melampaui usia 21 tahun. 

D. FAKTOR PENYEBAB PERNIKAHAN DINI

Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang berusia dibawah usia yang diperbolehkan untuk menikah dalam UU Perkawinan nomer I tahun 1974, yaitu minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Dini:

  1. Pola Pikir Masyarakat / Budaya Lokal

Dari berbagai pengkajian yang dilakukan DP3AP2KB Provinsi NTB bersama sejumlah lembaga lainnya, pernikahan dini yang terjadi di NTB pada umumnya salah satunya disebabkan oleh pola pikir masyarakat dan sosial budaya.

Masih ada anggapan di tengah masyarakat bahwa perempuan yang sudah menginjak usia remaja dan belum menikah itu dianggap tidak laku. Pandangan ini diperkuat dengan budaya masyarakat Lombok yakni “kawin lari” atau merariq. Merariq merupakan sebuah prosesi awal perkawinan. Jika ada perempuan dilarikan oleh laki-laki, maka konsekuensinya perempuan tersebut harus dinikahkan. Namun merariq sendiri seharusnya melewati serangkaian proses lain.

  1. Rendahnya Pendidikan Masyarakat

Kualitas pendidikan Indonesia masih tergolong rendah, sehingga akhirnya masyarakat yang berpendidikan rendah ini memandang pendidikan sebagai suatu hal yang tidak penting sehingga banyak orang tua yang memasung impian anak-anaknya.

Anak-anak yang memiliki cita-cita tinggipun akhirnya terpaksa mengubur impiannya karena masih banyak masyarakat Indonesia yang berpendapat, bahwa seorang anak perempuan tidak perlu sekolah hingga jenjang yang tinggi karena mereka akan kembali ke sumur, dapur dan kasur untuk mengabdi pada suami. Padahal setiap anak memiliki hak, selain hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk berekspresi dan berkreasi. Tidak hanya untuk anak laki-laki tetapi juga anak perempuan.

  1. Rendahnya Ekonomi Masyarakat

Masyarakat dengan ekonomi yang rendah dan memiliki banyak anak, cenderung menikahkan anaknya di usia dini. Selain karena tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anak, juga karena orang tua berharap dengan anaknya menikah, maka beban hidup orang tua akan berkurang. Keluarga dari kalangan miskin seringkali mendorong anaknya perempuan mereka untuk segera menikah.

DP3AP2KB Provinsi NTB mencatat bahwa kasus pernikahan dini lebih banyak terjadi pada keluarga kurang mampu maupun di wilayah pedesaan karena minimnya jangkauan pendidikan. Sehingga, banyak keluarga yang kurang paham atas dampak negatif pernikahan dini.

  1. Seks Bebas dan Kehamilan di Luar Pernikahan

Perkembangan tehnologi yang tidak seiring dengan kondisi moral anak bangsa yang semakin menurun. Mudahnya mengakses tontonan serta bacaan yang tidak mendidik via internet tanpa pengawasan orang tua menjadi faktor pendorong adanya seks bebas yang akhirnya menyebabkan kehamilan diluar pernikahan. Kehamilan tanpa adanya persiapan dan kesiapan, baik secara fisik dan mental akan menimbulkan berbagai macam akibat, seperti aborsi, penularan HIV/AIDS dan pernikahan dini.

  1. Perundang-Undangan yang Tumpang Tindih

Menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” dan pada pasal 6 ayat 2 juga disebutkan “untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua”.

Undang-undang ini bisa dikatakan tumpang tindih dengan undang-undang nomer 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa usia < 18 tahun tergolong masih anak-anak. Selain itu UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan juga tidak mendukung kampanye program Generasi Berencana BKKBN yangmana usia menikah ideal untuk perempuan adalah di atas 20 tahun dan laki-laki adalah di atas 25 tahun.

E. DAMPAK PERNIKAHAN DINI

Dampak Pernikahan Dini atau Perkawinan di bawah umur adalah sebagai berikut:

  1. Dampak Hukum

Adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang di negara kita, yaitu:

  1. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 7 (1), perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 ayat (2) untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua.
  2. UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 26 (1) orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Amanat UU tersebut bertujuan untuk melindungi anak agar tetap memproleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta melindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

  1. Dampak Biologis
    1. Secara biologis, organ reproduksi anak masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan fungsinya
    2. Kematangan fisik seorang anak, tidak sama dengan kematangan psikologisnya sehingga meskipun anak tersebut memiliki badan bongsor dan sudah menstruasi tetapi secara perilaku tetap seperti anak-anak
  2. Dampak Psikologis
    1. Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan
    2. Kematangan psikologis ibu menjadi hal utama, karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak dikemudian hari
  3. Dampak Pendidikan
    1. Pernikahan dini mengakibatkan anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi
    2. Pendidikan yang minim mengakibatkan sulitnya memperoleh penghasilan yang layak
    3. Keluarga menjadi beban perekonomian yang cukup berat
  4. Dampak Administrasi Kependudukan
    1. Tidak memiliki akte nikah
    2. Tidak memiliki kartu keluarga
    3. Apabila terjadi perceraian sulit untuk mengurus pembagian hartanya

F. PENCEGAHAN PERNIKAHAN DINI

Dalam rangka Membangun komitmen, partisipasi dan peran aktif para pemangku kepentingan termasuk para petugas pelayanan dan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan, serta untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengimplementasi kebijakan-kebijakan Negara yang telah digulirkan pada bidang Tumbuh Kembang Anak lebih khususnya dalam Pencegahan Perkawinan Anak,  maka Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak menggelar Pelatihan Forum dan Penggiat Pencegahan Perkawinan Anak dengan tujuan untuk meningkatkan koordinasi para pemangku kepentingan termasuk para petugas pelayanan dan masyarakat dalam menerapkan pelaksanaan kegiatan bidang tumbuh kembang anak, khususnya dalam Pencegahan Perkawinan Anak dan mendukung terwujudnya salah satu indikator pengembangan Kab/Kota Layak Anak.

Salah satu respon yang cukup berani dilakukan oleh Kabupaten Gunungkidul dengan mengeluarkan Peraturan Bupati Gunung Kidul Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak pada 24 Juli 2015 lalu. Peraturan ini didesain karena terjadi peningkatan secara drastis jumlah perkawinan anak di wilayah tersebut yang mengalami peningkatan lebih dari 100 persen dalam beberapa tahun terakhir ini. Menurut Koalisi 18+, karena Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan masih berlaku maka Peraturan Bupati tersebut sangat penting untuk meminimalisasi jumlah perkawinan anak. Dengan adanya kebijakan ini mengindikasikan bahwa batas usia minimal perempuan untuk menikah yang ada dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia.

Peraturan ini memandatkan kebijakan pencegahan perkawinan anak dalam beberapa level yakni di tingkat keluarga, masyarakat, anak, Pemerintah Daerah dan para pemangku kepentingan lainnya. Peraturan juga memandatkan upaya pendampingan dan pemberdayaan bagi korban termasuk memandatkan tugas bagi beberapa lembaga di wilayah untuk melakukan monitoring atas kasus-kasus perkawinan anak.  Koalisi 18+ mendorong agar Peraturan Bupati Gunung Kidul juga diikuti oleh beberapa pemerintah daerah di beberapa wilayah yang saat ini tengah di rundung kasus meningkatnya perkawinan anak, khususnya bagi daerah – daerah yang sudah memproklamirkan dirinya sebagai kabupaten ramah anak atau propinsi ramah anak. Koalisi 18+ juga mendorong agar pemerintah pusat segera mengambil kebijakan khusus yang pro aktif dan segera untuk melindungi kepentingan anak-anak Indonesia yang terancam hak-haknya yang diakibatkan masih maraknya perkawinan anak.

Di Lombok Barat, studi baseline Aliansi “Yes I Do” menunjukkan 17% perempuan menikah pada usia di bawah usia 16 tahun, 62,3% perempuan mengalami putus sekolah akibat kehamilan remaja.

Bupati Lombok Barat berkomitmen mendukung integrasi Gerakan Anti Perkawinan Anak (Gerakan Anti Merariq Kodeq) dengan program “Yes I Do” untuk mencegah dan mengurangi perkawinan anak di Kabupaten Lombok Barat. Tanggal 24 Mei 2017- Rutgers WPF Indonesia, Plan International Indonesia, dan Aliansi Remaja Independen yang tergabung dalam aliansi bersama Pemerintah Kabupaten Lombok Barat meluncurkan program pencegahan perkawinan anak dan kehamilan remaja. Meresmikan program “Yes I Do” yang diintegrasikan dengan inisiatif Pemda Kabupaten Lombok Barat terkait isu perkawinan anak yaitu Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK).

Program “Yes I Do” diimplementasikan oleh mitra lokal yaitu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) NTB/Lombok Barat, Aliansi Remaja Independen (ARI) NTB dan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat untuk mendorong komitmen Pemerintah Lombok Barat membuat Peraturan Daerah terkait pencegahan pernikahan anak di Kabupaten Lombok Barat yang mempunyai target batas usia perkawinan menjadi 21 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Kegiatan lain adalah dengan Metode Dialog Warga (DW) yang melibatkan masyarakat secara langsung. Masyarakat dipetakan menjadi 3 kelompok mewakili elemen-elemen yang ada dalam masyarakat, antara lain: 1) Kelompok Tokoh yang terdiri dari Toga, Toma dan Todat, 2) Kelompok Remaja yang terdiri dari remaja putri dan putra yang aktif dalam masyarakat, 3) Kelompok Perempuan yang terdiri dari ibu rumah tangga dan wanita karir, yang tergabung dalam satu kelompok besar. Selanjutnya kelompok ini akan menjadi peran dan motivator utama dalam dalam menggerakkan berbagai macam aktivitas di masyarakat, salah satunya adalah PUP dan pencegahan pernikahan anak.