Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan Di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia, melalui mata manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Namun gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai dari gangguan ringan hingga gangguan yang berat yang dapat mengakibatkan kebutaan. Upaya mencegah dan menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan perlu mendapatkan perhatian.
Untuk menangani permasalahan kebutaan dan gangguan penglihatan, WHO membuat program Vision 2020 yang direkomendasikan untuk diadaptasi oleh negara-negara anggotanya. Vision 2020 adalah suatu inisiatif global untuk penanganan kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia.
Sebagai titik awal perencanaan program penanggulangan kebutaan dan gangguan penglihatan yang direkomendasikan oleh WHO melalui Vision 2020 adalah ketersediaan data mengenai keadaan kebutaan dan gangguan penglihatan di suatu wilayah atau negara melalui metoda survei yang dapat diandalkan.
Ketersediaan data ini sangat penting agar program penanganan kebutaan dan gangguan penglihatan dirancang berdasarkan permasalahan yang muncul di masyarakat sehingga dapat dilakukan perencanaan program yang efektif dan efisien. Pada dokumen WHO, WHA 66.4 tahun 2013, Menuju Universal Eye Health 2014-2019, terdapat tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan kesehatan mata di tingkat nasional di suatu negara, yaitu:
- Prevalensi Kebutaan dan gangguan penglihatan
- Jumlah tenaga kesehatan mata
- Jumlah operasi katarak, yang dapat berupa angka CSR (Cataract Surgical Rate) atau CSC (Cataract Surgical Coverage).
Ketiga indikator ini merupakan target global dan telah ditetapkan pula dalam action plannya bahwa penurunan prevalensi gangguan penglihatan (yang dapat dicegah) mencapai 25% di tahun 2019.
Sebaran proporsi kebutaan menurut provinsi di Indonesia (Riskesdas 2007) menunjukkan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat menduduki urutan ke 7 (tujuh) dengan tingkat kebutaan 1,1 %, dan menurut hasil Survey Rapid Assesment of Avoidable Blindness (RAAB) yang dilaksanakan pada tahun 2014 di 10 Kabupaten/Kota se Nusa Tenggara Barat menunjukkan angka kebutaan sebesar 4%, angka ini diatas rata-rata tingkat kebutaan Nasional 1,5%.
Program penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan di Provinsi NTB dimulai seiring berdirinya UPT Balai Kesehatan Mata Masyarakat Tahun 2000. Upaya meningkatkan kualitas pelayanan terus dilakukan termasuk pembenahan-pembenahan dalam operasional kegiatan pelayanan, bentuk pelayanan yang telah diberikan adalah pelayanan dalam gedung dan pelayanan luar gedung.
Jumlah kunjungan masyarakat dalam pelayanan kesehatan mata terus meningkat. Akan tetapi peningkatan ini masih belum dapat menanggulangi backlog kejadian kebutaan karena adanya keterbatasan baik tenaga, sarana dan prasarana pendukung pelayanan.
Penyebab kebutaan di Provinsi NTB sebesar 4% masih didominasi karena Katarak (hasil RAAB survey tahun 2014 terdapat 78%). Angka kebutaan yang tinggi tersebut bukan lagi merupakan masalah medis atau masalah kesehatan masyarakat semata, melainkan telah menjadi masalah sosial, yang juga berkaitan dengan pengetahuan masyarakat, keterbatasan sarana dan sumber daya kesehatan serta lainnya yang berhubungan dengan penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang perlu ditangani secara komperhensif baik secara lintas program, lintas sektoral, serta melibatkan masyarakat luas.